bule di bali

Ulah Bule di Bali Kian Meresahkan

Banyak video viral tentang ulah bule-bule di Bali yang meresahkan masyarakat lokal. Bahkan tokoh-tokoh Bali, seperti ibu Ni Luh Djelantik dan Gubernur Bali sendiri, I Wayan Koster juga angkat bicara.

Ketika menyimak berita dan konten-konten yang viral, salah satu pertanyaan yang muncul di benak saya dan menggelitik hati saya adalah kenapa kok bule-bule itu bisa berulah sangat menyebalkan di Bali? 

Kenapa mereka tidak seperti karakter bule-bule seperti yang kita kenal selama ini? 

Yakni bahwa mereka adalah kaum yang toleran, yang menghargai budaya lokal, yang open minded, tertib, disiplin, dan menghormati privacy orang lain?

Kenapa mereka tidak lagi lucu dan menggemaskan seperti di masa lalu, yang bahkan kita bisa ketawa-ketawa geli kalau lihat bagaimana reaksi mereka ketika pertama kali makan sambal atau pakai sandal?

Ulah Bule di Bali yang Meresahkan

Sudah beberapa lama sebenarnya beredar video yang memperlihatkan ulah bule-bule di Bali yang meresahkan masyarakat dan pemda setempat. Hanya saja itu belum mendapat perhatian yang luas.

Memasuki tahun 2023 ini, barulah fenomena ini ramai dibicarakan di media-media mainstream.

Apa saja ulah turis WNA di Bali itu?

Ternyata ada bule yang berlaku seenaknya kepada masyarakat lokal, seperti menunggak uang kosan dan malah marah-marah ketika ditagih. Baru-baru ini ada sejumlah bule-bule penghuni Homestay yang membuat petisi untuk memprotes suara kokok ayam.

Ada WNA yang bawa motor tidak pakai helm dan ketika ditilang polisi malah berani melawan.

Atau kenapa sampai bisa mereka bahkan menjadi pedagang kaki lima dan tinggal di Indonesia tanpa dokumen ijin tinggal yang jelas? 

Bahkan banyak sekali bule yang berseliweran di jalan-jalan utama memakai kendaraan dengan plat semau-maunya.

Bahkan banyak yang bekerja di Bali atau membuka usaha bisnis tanpa mengikuti peraturan yang berlaku.

Belum lagi perilaku-perilaku lainnya yang mabuk-mabukkan, melanggar sopan santun, tidak menghormati adat istiadat masyarakat lokal, dsb. 

Kenapa?

Buat teman-teman yang sudah sering menyimak Kian Amorette baik lewat video-video di YouTube channel ini, maupun di sosial media, mungkin agak bingung kenapa bule-bule yang saya gambarkan sangat berbeda dengan gambaran bule-bule yang menjadi viral itu. 

Mengapa berbeda? Saya melihat ada 5 faktor: 

1. Perilaku Orang Ketika Menjadi Turis 

Yang saya gambarkan di sini adalah budaya orang-orang bule dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan yang terjadi di Bali itu adalah perilaku turis.

Apakah ada bedanya? Tentu saja.

  • Kita manusia kan begitu. Perilaku kita di dalam rumah sendiri, tentu beda ketika kita di rumah orang lain. Perilaku kita ketika sedang nongkrong sama bestie, beda ketika kita di ruang rapat kerja, beda di depan calon mertua. 
  • Orang ketika menjadi turis, itu perilakunya bisa sangat berbeda dengan dirinya yang sehari-hari di kampung halamannya atau di negaranya sendiri. 
  • Bule-bule yang perilakunya seenaknya di Bali, ada kemungkinan karena posisi mereka sebagai turis saja. Kalau sehari-harinya mereka di negaranya masing-masing belum tentu Mereka berani berperilaku begitu. 
  • Semacam di Jerman di sini, mana ada orang yang seenak-enaknya bawa kendaraan tanpa aturan. Kita bisa ke Belanda, ke Norwegia, Swedia, Denmark, Italia, atau bahkan tetangga kita sendiri, Australia. Mana ada warganya yang berani melanggar lalu lintas kayak mereka di Bali. 
  • Bisa saja memang, ketika menjadi turis itulah sifat aslinya yang sebenarnya. Mungkin Yang sebenarnya dia orang yang liar, tapi karena di negaranya peraturan dan hukum Sangat ketat, maka Mereka taat hukum di negaranya, tidak berulah. Atau bisa juga, kalau di negaranya sendiri, itu adalah lingkungannya sendiri, mereka juga malu dinilai tidak bertata krama, tapi ketika jauh dari rumah, mereka merasa tidak ada yang kenali, maka mereka merasa bebas mau ngapain saja. 
  • Tentu saja yang menentukan juga adalah karakter diri seseorang. Perilaku itu bisa berbeda sesuai lingkungan dan sikon, situasi dan kondisi, sedangkan karakter itu adalah semacam remnya. Orang yang punya karakter yang kuat, akan tetap taat hukum walau mungkin ada kesempatan untuk melanggarnya. 

2. Suasana Bali

Suasana Bali, bukan hanya alamnya dan iklimnya, tetapi juga ekosistem dan budaya yang tercipta di sana. Itu memang sangat begitu nyaman.

Bule-bule yang seenaknya melanggar aturan lalu lintas di bali, ada kemungkinan karena selain itu bawaan perilaku manusia ketika jauh dari rumah, atau ketika menjadi turis, tetapi juga karena suasana di Bali itu sendiri. 

Bule-bule yang berwisata di Toraja, misalnya, mereka tidak akan begitu perilakunya. 

Mungkin mereka juga mau seenaknya, tapi ekosistem di Toraja tidak memungkinkan mereka berbuat begitu.

Setidaknya sejauh pengamatan saya selama ini. 

Entah kalau besok-besok ya. 

Atau kalau kita melihat perilaku bule-bule di tempat-tempat wisata lainnya di Eropa. Mereka itu tertib. Walau tidak ada yang mengawasi. 

Kenapa suasana di bali menjadi enak bagi para turis untuk melanggar segala peraturan? 

Nah, ini adalah faktor ketiga: yakni saya menyebutnya sebagai buah dari adanya ekspekstasi yang sangat tinggi oleh penduduk asli terhadap bule-bule di Bali.

3. Ekspekstasi Terhadap Bule di Bali 

  • Ini sudah sering kita dengar kan ya. Ini bukan saya saja yang ngomong kayak gini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di bali itu ada perbedaan yang sangat besar antara perlakuan terhadap turis Asing, khususnya bule-bule dengan turis domestik.
  • Bule-bule dianggap memiliki uang lebih banyak, diharapkan mereka akan berbelanja lebih banyak. Spending money lebih tinggi dan sebisa-bisanya tinggal lebih lama di bali.
  • Karena itu mereka mendapat pelayanan yang lebih baik, diperlakukan lebih ramah, lebih eksklusif daripada turis domestik. 
  • Tentu saja alasannya karena itu lebih menguntungkan. Which is (sok jaksel banget saya ya) itu tidak ada salahnya. Namanya juga dunia bisnis kan. Kita gak usah pake baper. 
  • Makanya juga karena ada ekspektasi bahwa bule-bule itu lebih royal dalam spending money (makanya kemudian muncul label bule pelit atau bule miskin). Which is label itu tidak dilekatkan kepada turis2 domestik karena pada dasarnya ekspektasi yang sama tidak ada terhadap turis domestik.
  • Tapi semua berubah semenjak pandemi. 
  • Kita semua sudah tahu, ketika pandemi datang, krisis global menyerang, kedatangan turis bule di bali sampai di titik NOL. Bali sengsara. Ternyata yang menyelamatkan bali di masa pandemi justru adalah turis2 domestik.  Which is ini mengejutkan, karena sebelumnya malah tidak diperhitungkan. 
  • Sayangnya, walau kita sudah tersadar tentang kekuatan turis-turis domestik sendiri, tetapi turis-turis WNA, khususnya bule-bule itu sudah terlanjur dimanjakan. 
  • Dan inilah rantai berikut untuk faktor yang keempat.

4. Akibat Dimanjakan

  • Manusia, pada umumnya, ketika dimanjakan dalam jangka waktu yang lama, selama bertahun-tahun, cepat atau lambat akan tumbuh menjadi pribadi yang songong, akan ngelunjak. Jadi lupa diri. Bagaikan anak yang dibesarkan dengan dimanjakan, mereka akan jadi orang yang menyebalkan bagi lingkungan sekitarnya. 
  • Bagaimana menghadapi anak yang manja? Ini juga tidak mudah. Salah sedikit saja bisa merusak si anak maupun si orang tua sendiri.
  • Bagi masyarakat Bali, bule-bule manja ini mungkin sudah sangat menyebalkan, tapi kalau itu menyangkut periuk nasi tentu akan jadi dilema. Dilema antara mengalah saja, atau bertindak tegas. Antara kenyamanan hati, atau kehilangan nafkah.

5. Kekuatan Internet dan Sosial Media

Kekuatan sosial media ini menjadi keuntungan sekaligus tantangan jaman kita sekarang.

  • Karena internet dan sosial media, muncul warga dunia baru, yang menamakan dirinya kaum nomad. Mereka ini menghadirkan cara hidup manusia primitif di jaman modern ini. Mereka ini impiannya bisa hidup bebas dan tidak terikat lokasi dan jam kerja. 
  • Dan ekosistem Bali adalah salah satu destinasi terbaik untuk nomad lifestyle ini. 
  • Lalu sosial media turut memperbesar dan memperluas kesempatan untuk mewujudkan impian ini. 
  • Mereka bisa tinggal di Bali dengan income dari perusahaan-perusahaan digital seperti google, YouTube, jualan produk/jasa software, dan pekerjaan-pekerjaan di dunia digital lainnya. Dan karena mereka memang menggunakan platform-platform yang sama dengan yang kita gunakan, ya tidak heran kalau kita sehari-hari mengkonsumsi hasil-hasil kerja mereka.
  • Yang ujung-ujungnya sampai ke tangan kita sebagai video-video viral itu. Dan kita pun seringkali lupa bahwa apa yang viral, itu tidak selalu adalah representasi dari semuanya. Ada berapa persen dari penduduk dunia yang mau dan bisa hidup nomad? Sedikit sekali. Orang pada umumnya masih lebih suka tinggal menetap dengan kehidupan yang stabil, normal dan biasa-biasa saja. Berapa persen dari orang Australia, orang US, orang Eropa yang hidup menjadi turis tetap di bali? Sedikit sekali. Kebanyakan orang masih lebih suka tinggal nyaman di rumah dan negaranya sendiri. Berapa persen dari turis di bali yang menyebalkan? Sedikit sekali juga. Kebanyakan lebih suka menikmati liburan dengan tenang dan damai.
  • Kenapa yang sedikit itu yang menjadi pembicaraan? Balik lagi, karena kekuatan internet dan sosial media. 
  • Bukan berarti saya menyangkali bahwa ada masalah dengan bule-bule menyebalkan itu, saya juga setuju bahwa ini bisa dijadikan sebagai momen untuk membenahi beberapa hal di bali. 
  • Yang ingin saya katakan adalah perilaku bule-bule yang berulan di bali itu tidak bisa serta merta dijadikan sebagai dasar untuk menilai bahwa semua bule pasti seperti itu. 

Bagaimana Menyikapi Kelakuan Turis Bule Itu?

  • Tentang persoalan ini saya juga menunggu bagaimana tindakan dari pemerintah selanjutnya. 
  • Saya hanya mau membagikan ini buat bunga-bunga Nusantara, para ladies yang mendambakan pasangan International. 

3 Pelajaran yang Bisa Kita Petik

Dari fenomena di atas, pelajaran apa yang bisa kita petik?

  • Pertama, kita perlu belajar memandang orang-orang dari setiap bangsa secara adil. Tidak memukul rata, tidak menyamaratakan begitu saja
  • Kedua, memang ada perilaku-perilaku umum suatu bangsa dan masyarakat, tetapi juga ada yang namanya karakter individu. Ada bule yang baik ada yang tidak baik, ada yang disiplin dan taat hukum, ata yang tidak, ada yang open minded oh ada juga yang pikirannya picik. 
  • Kalau menyangkut urusan cinta dan relationship, kita bisa mulai dari tipikal bawaan bangsanya, tetapi selanjutnya kita perlu memahami karakter dan kepribadian seseorang secara orang per orang. 

Begitu dulu saja dari saya.

Semoga bermanfaat.

6 Fakta Lucu Chat Sama Bule

Scroll to Top